Dalam
dinamika studi hubungan internasional terdapat berbagai isu kontemporer
yang pada awalnya lebih bersifat kepada hal yang teknis, yang kemudian
berkembang menjadi agenda politik yang berimplikasi pada lahirnya
pola-pola baru kerjasama internasional, dimana dalam perkembangan
hubungan internasional terkini tidak lagi hanya memperhatikan aspek
hubungan antara negara saja, yang hanya mencakup aspek politik, ekonomi,
budaya serta aspek-aspek klasik lainnya, tetapi juga aspek lain seperti
interdependensi ekonomi, hak asasi manusia, keamanan transnasional,
organisasi internasional, rezim internasional dan juga masalah
lingkungan hidup.
Saat
ini seiring dengan semakin kompleks dan dinamisnya dimensi hubungan
internasional, yang kemudian memaksa bagi setiap aktor dan pihak
internasional untuk bekerjasama dalam satu isu di sebuah kawasan yang
kemudian menjadikan isu tersebut menjadi perubahan transnasional, dimana
kemudian tidak dapat dielakkan terlibatnya aktor atau pihak lain untuk
saling bekerjasama, walaupun di kawasan lain dari tempat terjadinya
masalah tersebut.
Studi
hubungan internasional secara substansial adalah sebuah bidang kajian
studi interdisiplin, dimana dalam dinamika perkembangannya melibatkan
berbagai disiplin ilmu lain dalam melakukan analisa serta korelasi untuk
memahami dan dapat menjelaskan mengenai suatu fenomena dalam lingkup
internasional, termasuk di dalamnya dalam kajian isu lingkungan hidup
maka akan mencampurkan aspek ilmu pengetahuan alam hayati yang tentunya
dibalut dalam nuansa scope internasional, sehingga dapat dilihat dan
ditarik keterkaitan serta kompleksitas antara masalah lingkungan global
dengan hubungan antar negara.
Aspek
lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari disiplin Ilmu Alam
Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional pada dekade belakangan
ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama
internasional. Isu lingkungan hidup menjadi salah satu kajian yang dapat
diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong aktor
atau unit internasional lain untuk ikut terlibat dalam penyelesaian dan
penanganannya, hal ini dikarenakan masalah lingkungan dianggap bersifat
implikatif yang menimbulkan chain reaction atau reaksi berantai terhadap
pihak lain, begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah
lingkungan hidup hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan
menjadikannya menjadi komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum
internasional.
Pemanasan Global dan Relevansinya dalam Hubungan Internasional
Isu
lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu
agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional
pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup
pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia yang lebih dikenal dengan Stockholm
Conference. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini merupakan jawaban
terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin meningkatnya concern
masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran banyak
kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga
terbit buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome merupakan kelompok think thank
berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut memaparkan bahwa seiring
kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia sumber daya alam
di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian diasumsikan menjadi
penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara masif, yang
kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan
menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global.[1]
Konferensi
lingkungan hidup PBB yang berlangsung di Stockholm tersebut kemudian
menghasilkan sebuah resolusi mengenai pembentukan United Nations
Environmental Program (UNEP), dapat dikatakan bahwa UNEP merupakan motor
awal pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dalam hubungan
kerjasama antar negara, yang kemudian melahirkan gagasan dari
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dengan
pertemuan-pertemuan serta pembahasan yang berkesinambungan, dan diangkat
secara global dalam forum dan konferensi internasional.
Dalam
perkembangannya konferensi-konferensi internasional yang membahas
mengenai masalah lingkungan dari tahun ketahun terus diadakan dalam
mencari solusi dalam penanggulangan masalah yang dianggap pelik dalam
tata lingkungan hidup global saat ini, pertemuan antar negara-negara
dalam membahas masalah lingkungan hidup terangkum dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change),
dimana hasil dari salah satu pertemuan UNFCCC yang diadakan yaitu
mengenai kesepakatan negara-negara pada tahun 1997 untuk membuat
konsensus penanganan lingkungan yang dirangkum dalam suatu protokol yang
disebut Protocol Kyoto, dimana protokol ini mengatur mengenai
pembatasan kadar emisi karbon suatu negara yang telah meratifikasinya,
hingga dalam perkembangan berikutnya pertemuan lingkungan yang
melibatkan negara-negara masih terus dilakukan dalam lingkup UNFCCC.
Kebijakan terhangat yang diangkat dalam masalah lingkungan global adalah mengenai Bali Road Map
yang di hasilkan dari pertemuan UNFCCC ke-13 pada tahun 2008 di Bali,
Indonesia, yang kemudian berlanjut dalam pertemuan di Coppenhagen,
Denmark pada tahun 2009, lalu pertemuan di Cancun, Meksiko pada tahun
2010, dan beberapa pertemuan yang akan digelar pada tahun-tahun
berikutnya, dalam pertemuan tersebut esensinya dibahas mengenai
kelanjutan dari Protokol Kyoto yang masa berlakunya akan segera habis
pada tahun 2012, sehingga oleh banyak pihak dianggap pentingnya sebuah
kebijakan baru dalam melanjutkan Protokol Kyoto. Dalam pertemuan
tersebut juga muncul gagasan mengenai program sistem kredit karbon yang
disebut sebagai program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation),
yaitu suatu pengaturan untuk mengurangi tingkat emisi karbon dengan
sistem dimana negara industri maju yang dianggap menjadi penghasil
karbon yang telah merusak atmosfer diharuskan membayar secara finansial
kepada negara-negara pemilik hutan yang menyerap karbon, dan dana
tersebut akan digunakan negara pemilik hutan sebagai dana untuk
pelestarian hutan dan penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan,
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) atau ilmuwan
antar negara yang merupakan besutan PBB di bawah UNFCCC sebagai pihak
yang mengusulkan ide program tersebut berpendapat, bahwa dengan
dilaksanakannya program REDD maka akan menciptakan suatu keseimbangan
karbon yang disebut Carbon Neutral, dan adanya sistem yang berkeadilan
antara negara industri maju dan negara berkembang pemilik hutan dalam
penanganan masalah lingkungan hidup.
Kemudian
dari berbagai pertemuan antar negara yang membahas masalah lingkungan
hidup yang dalam perkembangannya semakin menunjukkan betapa tingginya
tingkat interdependensi antar negara dalam penanganan isu ini, dimana
isu lingkungan hidup menjadi salah satu masalah vital dari kajian
kerjasama kontemporer dalam hubungan antar negara saat ini, hubungan
kerjasama antar negara dalam isu ini lebih didasarkan pada kepentingan
bersama oleh masing-masing pihak atau negara dalam mengatasai serta
menanggulangi persoalan lingkungan hidup, yang dampak eksesnya jika
terus dibiarkan dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan global, yang
tentunya efek buruk dari perubahan lingkungan global ini akan dirasakan
dan merugikan semua pihak atau negara. Selain mempengaruhi lingkungan,
dampak krusialnya lainnya yang akan turut mengikuti layaknya efek domino
adalah berimbasnya kepada kekacauan dalam tatanan ekonomi, sosial,
politik global, sehingga kemudian masalah lingkungan hidup ini oleh
hampir semua pihak dan negara dianggap sebagai masalah bersama yang
perlu kerjasama tingkat tinggi secara multilateral dan multitrack dalam
penanganannya, atau dengan kata lain interdependensi yang tinggi oleh
setiap negara dalam masalah ini menjadi landasan mengenai kenapa isu ini
dibahas dan diangkat dengan begitu intens di berbagai forum dan kajian
baik secara formal maupun informal.
Dalam isu lingkungan hidup terdapat beberapa fokus masalah, salah satunya adalah masalah pemanasan global (Global Warming)
yang secara komprehensif oleh pendapat para ahli lingkungan mencakup
terhadap masalah kelestarian hutan, perubahan iklim, dan fenomena alam
seperti El Nino serta La Nina. Dari kajian para ahli lingkungan serta
berbagai hasil keputusan dalam konferensi internasional mengenai
pemanasan global, khususnya kajian dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change),
yaitu panel ilmuwan yang dibentuk oleh PBB untuk mengkaji masalah
perubahan iklim, yang dalam konferensi persnya atas peluncuran laporan
Third Assessment Report membuat sebuah konsensus bahwa fenomena
perubahan iklim dan meningkatnya suhu bumi pada beberapa dekade
belakangan adalah akibat dari semakin meningkatnya kadar emisi
karbondioksida anthropogenik yang dihasilkan dari hasil akhir pembuangan
bahan bakar fosil yang kebanyakan dihasilkan oleh industri negara maju,
selain faktor peningkatan kadar emisi karbon, fenomena global warming
juga sering dikaitkan dengan pemakaian gas CFC (Chloro Fluoro Carbons)
yang berlebihan dalam merusak lapisan ozon, serta efek dari rumah kaca
yang berimbas pada semakin semakin hangatnya suhu bumi.
Permasalahan
lingkungan hidup menjadi sangat kompleks karena menyankut eksploitasi
terhadap sumber daya global seperti lautan, suhu bumi dan atmosfir yang
semua variabel tersebut berlaku dalam lingkup transnasional sehingga
kerusakan di suatu negara akan berdampak dan mengancam pada negara lain
pula, selain itu dewasa ini masalah lingkungan hidup bukan lagi menjadi
suatu kajian masalah yang hanya melibatkan negara saja sebagai aktor
dalam penanganannya, seiring dengan begitu dinamisnya perkembangan dalam
ranah hubungan internasional organisasi-organisasi seperti NGO (Non Governmental Organization) dan bahkan individu-individu turut dalam penanganan masalah lingkungan hidup.
Opini dan Fakta Pemanasan Global
Dalam
berbagai laporan dan kajian yang sering diperbincangkan di berbagai
forum internasional mengenai masalah lingkungan hidup, khususnya masalah
Pemanasan Global, penyebab yang kerap dijadikan tersangka atau penyebab
fenomena ini adalah akibat aktivitas manusia, khususnya aktivitas
industri yang diasumsikan telah mencapai level ambang batas terhadap
kerusakan lingkungan hidup secara masif, sehingga kemudian banyak pihak,
baik itu Negara, NGO Lingkungan dan khususnya PBB melakukan
langkah-langkah konkrit dalam penanganannya dengan mengadakan berbagai
pertemuan yang melibatkan negara-negara, yang di implementasikan dalam
Protocol Kyoto to the United Nations Framework Convention on Climate
Change atau yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto yang diadakan di
Kyoto, Jepang pada tahun 1997, dimana protokol tersebut mengatur
mengenai batas pelepasan kadar emisi karbon industri dari suatu negara
dan negara-negara yang meratifikasinya berkomitmen untuk mengurangi
kadar emisi karbon secara kolektif hingga sebesar 8% hingga tahun 2012,
dimana sampai pada tahun 2007 sudah 174 negara yang telah meratifikasi
protokol kyoto,[2] kecuali negara Amerika Serikat yang hingga pertemuan
UNFCCC di Cancun, Mexico pada tahun 2010 tetap menolak setiap kebijakan
yang diambil dalam penanggulangan lingkungan, padahal Amerika Serikat
merupakan negara inti dalam aktivitas industri yang diharapkan menjadi
panglima dalam isu ini. Protokol Kyoto mengatur mengenai pembatasan
emisi karbon yang bertujuan untuk menghambat kerusakan yang berakibat
pada fenomena pemanasan suhu bumi yang kelak akan berefek pada kenaikan
permukaan air laut dan perubahan iklim secara global.
Pengeluaran
emisi karbon yang dianggap sebagai penyebab utama masalah pemanasan
global tidak lain adalah senyawa gas Karbondioksida, namun karbon disini
adalah karbon yang dihasilkan dari pembuangan akhir bahan bakar fosil,
sejatinya karbondioksida merupakan gas non toksik yang tidak berwarna,
tidak berbau, dan tidak berasa, sangat penting bagi semua kehidupan di
bumi. Semua tumbuh-tumbuhan hijau memerlukan karbondioksida untuk proses
fotosintesis. Secara ilmiah dengan meningkatnya karbondioksida maka
kecepatan pertumbuhan tanaman juga akan meningkat. Namun oleh para
ilmuwan senyawa karbondioksida juga ditengarai menjadi penyebab
meningkatnya suhu bumi akibat berkumpulnya konsentrasi karbon yang
berlebihan di atmosfer khususnya pada periode 1970-2000 pasca
meningkatnya aktivitas industri dan penggunaan bahan bakar fosil secara
global.
Selain
laporan dari IPCC mengenai penelitian penyebab terjadinya pemanasan
global, juga muncul laporan dari sebuah film dokumenter lingkungan
besutan Al Gore yang berjudul An Inconvenient Truth pada tahun 2007,
yang menghantarkan Al Gore menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian di
tahun yang sama, dimana dalam film dokumenter tersebut dipaparkan
mengenai peningkatan kadar karbondioksida di atmosfer yang telah
berakibat dalam meningkatkan suhu bumi secara global, serta menyebabkan
berkurangnya glasier es di kutub yang semakin berkurang akibat pemanasan
di kutub, yang berakibat juga pada kenaikan permukaan air laut yang di
asumsikan akan naik setinggi 20 kaki (6,09 meter), dimana dengan
kenaikan setinggi itu akan dapat mengancam kehidupan bahkan
menenggelamkan negara-negara kepulauan di Pasifik dan juga akan
menenggelamkan kota-kota besar negara dunia yang kebanyakan berada di
pesisir pantai, berkorelasi dengan fakta diatas film ini juga
mengungkapkan mengenai populasi beruang kutub yang berada dalam ambang
kepunahan, dimana Al Gore beserta ilmuwan dalam pembuatan film tersebut
juga berpendapat bahwa aktivitas industri manusialah penyebab semua
fenomena ini.
Di
tengah berbagai laporan para ilmuwan mengenai penyebab terjadinya
pemanasan global dan opini yang telah terbentuk, mengenai tertuduhnya
aktivitas manusia sebagai penyebab pemanasan global, dimana negara yang
merupakan interpretasi manusia secara kolektif, sehingga dibutuhkan
tanggung jawab global dari negara-negara dalam penanggulangannya.
Menanggapi isu lingkungan hidup global yang menunjukkan eskalasi yang
semakin kompleks, kemudian muncul polemik dan perdebatan di kalangan
ilmuwan mengenai perbedaan persepsi penyebab terjadinya pemanasan
global, saat ini para ilmuwan terbelah menjadi dua dalam persepsi
mengenai penyebab pemanasan global, terdapat ilmuwan pro pemanasan
global yang mendukung teori bahwa pemanasan global terjadi akibat
aktivitas manusia, dan yang kontra atau menolak mentah-mentah mengenai
pemanasan global yang telah diklaim oleh para ilmuwan yang pro, termasuk
juga menolak ilmuwan IPCC yang laporan penelitiannnya telah dijadikan
menjadi landasan acuan dalam konferensi- konferensi negara-negara dunia
dalam menentukan sebuah kebijakan dalam pengurangan kadar emisi karbon
dalam penanggulangan pemanasan global.
Kontroversi dan Fakta Terbalik Dalam Pemanasan Global
Pemanasan
global (Global Warming) yang keberadaannya pada berbagai forum dan
pertemuan tingkat tinggi lingkungan hidup internasional diklaim
penyebabnya adalah karena aktivitas industri manusia, klaim atas
tertuduhnya aktivitas industri manusia yang diakibatkan oleh peningkatan
kadar emisi karbon ini sebelumnya dilaporkan oleh IPCC dalam pertemuan
UNFCCC, yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan
kebijakan tata penanggulangan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi
saat ini, hal itu dapat terlihat dari betapa kompleksnya kebijakan yang
diambil oleh negara-negara yang sering juga dikaitkan dengan kepentingan
masing-masing negara dalam masalah ini terkait diplomasi lingkungan.
Kontroversi
dan perdebatan mengenai penyebab sebenarnya dalam fenomena pemanasan
global terjadi hanya sekitar beberapa tahun yang lalu, dimana terdapat
perbedaan persepsi dari para ilmuwan dalam menyikapi hal ini, bahkan
dari kelompok yang kontra atau menentang ada yang beranggapan bahwa
fenomena pemanasan global sebenarnya tidak pernah terjadi, salah satunya
ilmuwan yang kontra adalah Steven Milloy, yang memiliki gelar dalam
bidang Natural Science dan gelar master dalam Biostatistik dari
Universitas John Hopkins, kredibilitas akademik Milloy dalam bidang ini
sangat diperhitungkan, dimana dia adalah salah satu juri bagi American
Association for The Advancement of Science Awards dan ia pernah diminta
oleh kongres Amerika Serikat untuk bersaksi mengenai masalah-masalah
lingkungan, Milloy berpendapat bahwa pemanasan global adalah "ibu dari
segala ilmu pengetahuan sampah" (Junk Science), dia merujuk kepada fakta
historis bahwa perubahan-perubahan suhu bumi terjadi secara alamiah
tanpa campur tangan manusia dan secara frontal beranggapan bahwa
fenomena pemanasan global tidak pernah ada. Selain itu Milloy juga
merujuk kepada Protokol Kyoto yang dianggapnya sebagai suatu lelucon,
dimana protokol ini bertujuan untuk mengurangi kadar emisi karbon dunia
menjadi 8% pada tahun 2012. Sebagai catatan 8% adalah level emisi pada
tahun 1990, jika dipahami lebih lanjut tahun 1990 adalah tahun dimulai
revolusi industri modern, dimana aktivitas industri sangat pesat
berkembang bahkan di negara dunia ketiga, dan untuk mengembalikan kadar
emisi karbon kembali menjadi 8% seperti tahun 1990 jelas bukan hal yang
sangat mudah.[3]
Sebuah
studi dari Rusia juga mempublikasikan bahwa konsentrasi gas karbon di
atmosfer pada tahun 1970 berada pada level sekitar 325 PPMV (Parts Per Million by Volume),
dan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai level 375 PPMV, dan bila
Protokol Kyoto diikuti, maka protokol tersebut hanya akan merubah 1
atau 2 PPM saja pada tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa protokol
tersebut hanyalah sebuah kesia-sian jika tetap diikuti, dan bukan tidak
mungkin hal inilah yang menjadi faktor mengapa Amerika Serikat begitu
bergigih untuk menolak setiap regulasi mengenai pembatasan kadar emisi
karbon.
Steven
Milloy hanyalah satu dari sekian banyak ilmuwan yang kontra terhadap
masalah ini, banyak ilmuwan kaliber lingkungan lainnya yang turut
menentang teori pemanasan global, bahkan ilmuwan yang sebelumnya
medukung Al Gore dalam pembuatan film dokumenter An Inconvenient Truth,
yaitu Prof. Mojib Latif yang juga merupakan peneliti utama di IPCC.
Latif adalah seorang ilmuwan berdarah Pakistan dari Leibniz Institute of
Marine Sciences, Jerman. Pada awalnya dia adalah seorang pendukung
utama teori yang mengatakan bahwa emisi gas karbon yang dihasilkan
manusia adalah penyebab meningkatnya suhu secara global, dia juga turut
serta dalam menciptakan model iklim yang menjadi patokan bagi banyak
peneliti di dunia. Pada sebuah pertemuan itu yang sering membahas apa
yang disebut Scientific Consensus mengenai Pemanasan Global
yang diakibatkan oleh perbuatan manusia, Latif mengakui telah membuat
kesalahan, bahwa Bumi ternyata tidak sedang mengalami pemanasan selama
hampir satu dekade. Menurut pendapatnya sepertinya bumi akan memasuki
masa satu atau dua dekade dimana suhu bumi akan mendingin.[4]
Teori
pemanasan global yang diusung ilmuwan pro Al Gore menyebutkan bahwa
samudera Atlantik dan Pasifik akan menyerap suhu panas yang terkurung di
bumi yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah karbondioksida yang
dihasilkan oleh manusia. Penyerapan ini akan menyebabkan atmosfer dan
daratan menjadi panas. Namun, Prof Latif menyatakan dengan jelas bahwa
Atlantik utara malah menjadi dingin. Dan mungkin akan terus mendingin
hingga 20 tahun yang akan datang. Ini jelas bertentangan dengan
pandangannya sebelumnya yang menyatakan bahwa bumi akan memasuki suhu
mematikan pada tahun 2100.
Prof.
Latif adalah ilmuwan terbaru yang bergabung dalam kelompok ilmuwan yang
meragukan adanya pemanasan global yang diakibatkan oleh manusia.
Sebelumnya Senator Amerika Serikat James Inhofe dari partai Republik
yang merupakan “Godfather” dari penentang teori pemanasan global versi
Al Gore, dimana Inhofe telah merilis daftar 400 ilmuwan terkemuka yang
menentang teori Al Gore.[5] Ilmuwan-ilmuwan ini bertujuan untuk
menyeimbangkan perdebatan dan opini mengenai pemanasan global yang
selama ini didominasi oleh ilmuwan pro pemanasan global dimana mereka
didukung oleh politisi yang mengambil keuntungan dari isu ini dan juga
media liberal yang secara global memberitakan masalah pemanasan global
dengan tidak sangat berimbang.
Selain
adanya pernyataan yang menyerang dari berbagai ilmuwan penentang teori
pemanasan global terhadap argumen ilmuwan pro pemanasan global, film
dokumenter Al Gore juga tak luput dari serangan, banyak para ilmuwan
yang menganggap film An Inconvenient Truth penuh dengan kebohongan dan
sangat jauh dari standar keakademisan dalam suatu penelitian, salah
satunya adalah status glacier es Antartika yang dilaporkan semakin
menyusut es, dan dengan berdasarkan model komputer yang diciptakan oleh
para ilmuwan pro Anthropogenic pemanasan global, Antartika akan lenyap
dalam 20-30 tahun mendatang, namun penelitian tersebut berbanding
terbalik dengan fakta yang terjadi, pada tahun 2009 media-media
melaporkan (kecuali media di Indonesia) bahwa terjadi anomali di
Antartika, anomali tersebut adalah es di antartika bertambah luas
sekitar 100.000 kilometer persegi setiap dekade dalam 40 tahun terakhir
belakangan.[6] Pemberitaan mengenai bertambahnya luas es di Antartika
ini mendapat pemberitaan luas dari media di Eropa dan Amerika Serikat,
diantaranya oleh Telegraph[7] dan Foxnews[8] yang menurunkan laporan
mengenai bertambahnya es di Antartika, begitu juga dengan es di Arktik
yang menurut National Snow and Ice Data Center (NSIDC),[9] luas
es di Arktik pada bulan Desember 2009 adalah 12,48 juta kilometer
persegi. dimana luas es di bulan Desember 2009 ini lebih rendah dari
rata-rata luas bulan Desember antara tahun 1970-2000. Namun es Arktik
pada Desember 2009 ini ternyata lebih luas 210.000 kilometer persegi
dibanding Desember 2006, artinya model komputer yang digunakan oleh para
ilmuwan pro Al Gore untuk memprediksi pencairan es tidak akurat, hal
ini ditunjukkan dengan luas es di Arktik bisa pulih dibanding tahun
2006, padahal manusia belum melakukan sesuatu yang radikal untuk
mengurangi jumlah karbon.
Selain
kelemahan fakta dalam status glacier es di kutub, film Al Gore yang
juga memaparkan mengenai status populasi beruang kutub yang semakin
menyusut akibat berkurangnya es di kutub di anggap sangat jauh dari
fakta di lapangan, lembaga internasional Polar Bear International
sebagai pihak yang berfungsi dalam konservasi dan penelitian beruang
kutub justru menyatakan bahwa populasi beruang kutub telah meningkat
dari hanya sekitar 5.000-10.000 ekor pada tahun 1950 hingga sekitar
20.000-25.000 ekor pada tahun 2009, satu-satunya ancaman terhadap
populasi beruang kutub adalah aktivitas perburuan manusia, bukan akibat
berkurangnya lapisan es,[10] dan laporan oleh National Center for Policy
Analysis[11] yang mengutip data WWF yang juga melaporkan mengenai tidak
adanya penurunan dalam populasi beruang kutub, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa data penelitian Al Gore dalam filmn yang
menghantarkannya meraih Nobel sangat tidak kredibel.
Setali
dengan film Al Gore yang pada akhirnya pada beberapa bagian akhirnya
direvisi akibat banyaknya kesalahan, kelompok ilmuwan pro pemanasan
global IPCC, yang merupakan badan PBB dalam masalah iklim juga turut
mendapat sorotan oleh media atas kebohongan penelitian dan publikasi
penelitian yang berbanding terbalik dengan fakta di lapangan mengenai
pemanasan global, salah satunya adalah mengenai manipulasi data
penelitian yang menyatakan bahwa salju di Himalaya akan mencair total
pada tahun 2035, dimana ketua IPCC RK Pachauri akhirnya meminta maaf
atas kesalahan fatal ini.[12] Setelah skandal yang disebut Himalaya gate
tersebut, IPCC kembali ketahuan membuat laporan penelitian palsu yang
terbit tahun 2007, yang menyebutkan bahwa 40% hutan Amazon akan lenyap
karena pemanasan global, laporan tersebut ternyata hanya berasal dari
sebuah pamflet WWF yang dibuat oleh aktivis lingkungan, bukan dari hasil
penelitian 3.000 ilmuwan di IPCC, namun laporan aktivis WWF tersebut
diplintir oleh IPCC, karena kerusakan hutan tersebut bukan karena
pemanasan global, melainkan karena ilegal logging di Brazil[13].
IPCC
yang merupakan lembaga bentukan PBB yang seharusnya memiliki
kredibilitas yang tinggi dipenuhi dengan skandal dan manipulasi, yang
hingga sekarang akibat berbagai skandal memalukan tersebut hampir tidak
ada ilmuwan atau peneliti yang berani menggunakan data IPCC sebagai
basis penelitian mereka, begitu pula dengan ilmuwan pro pemanasan global
lain yang berbagai penelitian mereka atas pemanasan yang dikaitkan
terhadap aktivitas manusia tidak menunjukkan korelasi dengan fakta yang
terjadi di lapangan, sebelumnya para ilmuwan pro Al Gore memprediksi
bahwa musim dingin Desember 2009 akan menjadi musim dingin terhangat
sepanjang sejarah.
Namun
kenyataan di lapangan malah memberikan hal yang berbanding terbalik
dengan prediksi tersebut, yang terjadi pada Desember 2009 adalah musim
dingin terdingin dalam sejarah di Amerika dan Eropa,[14] akibat berbagai
kesalahan, skandal serta perang opini yang berkelanjutan antara ilmuwan
pro dan kontra, semakin menurunkan kredibilitas kelompok ilmuwan pro
seperti IPCC.
Menurut
David Axelrod, penasehat senior Barack Obama, pemanasan global bukan
prioritas utama mereka di tahun 2010, dan bisa jadi kontroversi mengenai
pemanasan global inilah yang menjadi dasar sikap Amerika Serikat dalam
penentuan kebijakan yang dianggap sering bertentangan dengan setiap
konsensus yang diambil dalam tiap konferensi tingkat tingkat UNFCCC, dan
belakangan sebuah survei menunjukkan bahwa hanya 34% warga Amerika yang
percaya bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Dari
kelompok penentang teori pemanasan global akibat manusia berpendapat
bahwa pemanasan global yang terjadi saat ini tidak ada hubungannya
dengan kadar emisi karbon berleb ihan yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia, perihal suhu bumi yang memanas adalah sebuah kejadian siklus
alami dari bumi, yang kadang memanas dan kadang mendingin, para ilmuwan
ini mengaitkannya dengan Ice Age atau zaman es yang terjadi pada masa
lampau, dimana pemanasan bumi yang masif setelah zaman es terjadi secara
alami tanpa campur tangan aktivitas manusia pula, selain fakta historis
pada era lampau catatan satelit cuaca NOAA mempublikasikan bahwa tahun
1998 adalah tahun dengan suhu terpanas di abad ini[15], yang kemudian
setelah itu suhu iklim menurun sesuai dengan siklus alami.
Dalam
KTT Coppenhagen, Denmark pada tahun 2009, negara-negara berusaha untuk
mencegah suhu bumi naik 2 derajat celcius. Rekomendasi IPCC berpendapat
bahwa peningkatan sebesar 2 derajat celcius akan membawa dampak yang
berbahaya bagi umat manusia, Namun negara-negara yang tergabung dalam
implementasi KTT Kopenhagen lupa bahwa pada abad ke-9 hingga abad ke-13
suhu bumi pernah lebih panas 4 derajat celcius dibanding saat ini,
periode pemanasan ini disebut Medieval Warm Period, padahal
saat itu belum ada produksi karbon besar-besaran seperti sekarang, yang
kelak gas karbon dituduhkan sebagai dalang dalam penaikan suhu bumi.
Medieval Warm Period tersebut kemudian berakhir pada tahun 1300 dan bumi
mulai mendingin secara drastis, periode dingin ini disebut Little Ice
Age dan berlangsung selama 500 tahun, dan pada tahun 1850 suhu bumi
kembali naik, yang oleh ilmuwan penentang beranggapan bahwa intinya
semua penaikan dan penurun suhu tersebut terjadi dengan sendirinya
sesuai dengan siklus bumi.
Pemanasan Global, Urgensitas Yang Perlu Dipertanyakan
Terkait
dengan bagaimana peran dan kontribusi negara-negara dalam
penanggulangan masalah ligkungan hidup yang terjadi saat ini, sepertinya
perlu suatu evaluasi atas urgensitas dari isu lingkungan hidup,
mengenai seberapa penting relevansi masalah ini dalam paradigma hubungan
internasional, khususnya terhadap arah kebijakan diplomasi lingkungan
yang diambil negara-negara dalam menyikapi fenomena pemanasan global.
Polemik dan kontroversi yang terjadi saat ini perihal perbedaan persepsi
dari ilmuwan dalam penyebab terjadinya pemanasan global pada beberapa
tahun terakhir, telah memicu pergeseran opini publik dalam menyikapi
masalah pemanasan global, yang seharusnya oleh negara-negara juga
direspon secara dinamis.
Konferensi
tingkat tinggi UNFCCC terakhir yang diadakan di Cancun, Mexico pada
tahun 2010 lalu, pada akhirnya tidak menemukan suatu titik temu dalam
pembicaraan penanggulangan masalah lingkungan hidup global, dimana
Amerika Serikat tetap bersikeras menolak setiap upaya pengurangan kadar
emisi karbon negaranya, yang bisa jadi faktor yang membuat Amerika
Serikat tetap bersikukuh adalah mengenai kontroversi yang terjadi pada
fenomena pemanasan global itu sendiri, namun di satu sisi Amerika
Serikat berusaha mengambilkan keuntungan dari keadaan ini dengan
memanfaatkan momentum industri yang sekarang berorientasi pada Green
Product atau lazim disebut dengan produk ramah lingkungan yang sering
ditemui dalam berbagai label produk saat ini. Dan bagi negara berkembang
khususnya negara pemilik hutan, tentunya memiliki keuntungan yang besar
dari isu lingkungan hidup saat ini, khususnya dari program REDD yang
akan memberi Double Advantages, yaitu bantuin dana dari negara
penghasil gas karbon secara finansial dan juga pemeliharaan lingkungan
khususnya hutan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan
keuntungan dari program REDD.
Namun
kembali kepada substansi dari permasalahan pemanasan global itu
sendiri, yang dipenuhi oleh kontroversi dan kompleksitasnya secara
fundamental, terlepas dari kepentingan berbagai pihak dalam isu ini,
bahwa perlu sebuah tinjauan ulang terhadap isu lingkungan hidup global
dalam paradigma hubungan internasional, agar arah orientasi politik
suatu negara tetap berpijak kepada kepentingan dan implikasi kebijakan
politik luar negeri yang terarah.
0 komentar:
Posting Komentar